Prof. Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc
Pendahuluan
Penyakit pada hewan, terutama ternak, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya produktivitas dan terjadinya kerugian para pembudidaya ternak termasuk sapi potong adalah sebagai akibat terserang penyakit. Kerugian seperti ini, yaitu akibat terserang penyakit, sebenarnya dapat diatasi dengan penerapan biosekuriti sebagai upaya pencegahan masuknya dan menyebarnya organisme penyebab dan pembawa penyakit. Penerapan biosekuriti dapat dilakukan pada setiap tahapan pemeliharaan ternak mulai dari penyiapan bibit, pakan, pengelolaan lahan, padang penggembalaan, penyediaan sumber air, serta kandang. Biosekuriti juga harus dilakukan untuk membebaskan mikroorganisme penyebab penyakit yang mencakup seluruh fasilitas yang berada pada lahan dan kandang dn sekitarnya.
Biosekuriti harus menjadi bagian utama dalam keseluruhan sistem budidaya. Penerapan prosedur biosekuriti biasanya membutuhkan waktu dan biaya sehingga para pelaku budidaya biasanya hanya fokus pada pencegahan hadirnya organisme penyebab penyakit saja. Padahal penerapan biosekuriti juga membutuhkan kesadaran dan kebiasaan dalam hal upaya mengurangi resiko yang tidak diinginkan seperti terserang penyakit.
Elemen ekonomi biosekuriti dalam konteks penyakit ternak sebenarnya merujuk kepada setiap upaya untuk melindungi ekonomi industri pada sektor pertanian, termasuk sub-sektor peternakan, yang berterkaitan dengan dampak negatif dari terjadinya penyakit. Beberapa elemen kunci dari perspektif ekonomi biosekuriti dalam menghadapi penyakit ternak termasuk, biaya penyakit; biaya pencegahan; kehilangan pasar; biaya regulasi; dampak sosial; dan resiliensi ekonomi.
Biaya dan manfaat biosekuriti
Biaya penyakit pada ternak dapat dihitung melalui biaya langsung dan tidak langsung, termasuk biaya pengobatan hewan yang sakit, kerugian produktivitas, dan biaya pemulihan ekonomi setelah terjadinya wabah. Biaya langsung termasuk biaya perawatan medis yang mencakup biaya obat-obatan, perawatan, prosedur medis, dan perawatan rumah sakit. Disamping itu, biaya diagnostik termasuk biaya untuk tes dan prosedur diagnostik seperti tes darah, pencitraan, dan tes laboratorium. Selanjutnya, biaya langsung juga termasuk biaya pemulihan, yaitu biaya untuk rehabilitasi atau perawatan jangka panjang setelah sembuh dari penyakit, serta biaya operasional seperti biaya untuk mengelola penyakit, termasuk biaya tenaga kerja, bahan, dan fasilitas. Sedangkan biaya tidak langsung termasuk produktivitas yang hilang baik itu dalam bentuk produksi langsung, misalnya, produksi susu dan daging sapi atau telur dari ayam, atau dalam bentuk hilangnya kemampuan kerja ternak seperti kehilangan kemampuan kerja pada kerbau pembajak sawah dan penarik beban.
Disamping biaya langsung dan tidak langsung yang harus dipertimbangkan dalam melakukan tindakan biosekuriti adalah biaya pencegahan, termasuk biaya kontrol dan pencegahan dalam rangka mengendalikan penyebaran penyakit ternak dan mencegah infeksi baru. Biaya ini dapat berupa investasi dalam tindakan pencegahan seperti vaksinasi, kepatuhan terhadap protokol biosekuriti, dan pemantauan kesehatan ternak yang dapat mengurangi risiko dan biaya yang terkait dengan penyakit ternak. Kehilangan pasar dapat dianggap sebagai biaya yang hasur dikeluarkan karena penyakit ternak dapat menghambat perdagangan produk ternak dan hasil ternak yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan bagi produsen, dan perekonomian nasional. Tidak kalah pentingnya juga adalah biaya regulasi, dimana implementasi regulasi biosekuriti yang ketat diperlukan investasi sumber daya dan waktu. Implementasi dari sebuah regulasi juga dapat membantu mencegah penyebaran penyakit dan sekaligus dapat melindungi industri pada sektor pertanian dan pada gilirannya pada sub-sektor peternakan.
Untuk menghitung biaya penyakit ternak secara langsung dan tidak langsung, diperlukan mengumpulkan data terperinci tentang biaya-biaya tersebut dan menganalisis dampaknya pada berbagai aspek, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat populasi atau masyarakat. Untuk menghitung biaya investasi pencegahan penyakit ternak, dapat mengikuti langkah-langkah berikut: (a) identifikasi ancaman penyakit, yaitu dengan menentukan penyakit ternak yang paling merugikan atau berpotensi merugikan baik itu dari segi kesehatan hewan maupun dampak ekonominya, (b) penilaian risiko untuk menentukan probabilitas terjadinya penyakit dan dampak potensialnya jika terjadi, (c) evaluasi strategi pencegahan, ditinjau dari berbagai strategi pencegahan, seperti vaksinasi, pengobatan, kebersihan lingkungan, dan pengelolaan ternak yang baik, serta (d) estimasi biaya implementasi strategi dengan cara menghitung biaya untuk menerapkan setiap strategi pencegahan, termasuk biaya vaksin, peralatan sanitasi, tenaga kerja tambahan, dan biaya administratif.
Perhitungan manfaat ekonomi juga dapat dilakukan melalui estimasi potensi penghematan atau keuntungan ekonomi yang akan dihasilkan dari pencegahan penyakit. Antara lain, seperti pengurangan biaya pengobatan, peningkatan produktivitas ternak, termasuk pengurangan risiko penularan penyakit ke manusia. Analisis Cost-Benefit (B/C), misalnya, dapat dilakukan untuk memandingkan biaya investasi pencegahan dengan manfaat yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu atau beberapa tahun ke depan. Jika manfaat ekonominya melebihi biaya investasi, maka investasi tersebut dapat dianggap layak. Karena B/C Ratio dihitung dalam periode waktu tertentu, maka analisis manfaat dapat dihitung untuk melihat pertimbangan ekonomik dari biaya yang digunakan dalam sebuah kegiatan biosekuriti. B/C Ratio adalah rasio antara manfaat dan biaya pada saat ini atau pada tahun tertentudimana analisis ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya biaya dan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari aktifitas biosekuriti selama kurun waktu tertentu. BCR dihitung menggunakan formula BCRt = [PV (B)t ]/ [PV (C)t ], dimana PV atau Present Value = [1/(1+DF)t], DF = Discount Factor, B = Benefit, C = Cost, dan t = Tahun.
Perencanaan dan implementasi dapat dilakukan setelah analisis cost-benefit dengan membuat rencana implementasi strategi pencegahan yang dipilih, termasuk alokasi sumber daya, jadwal pelaksanaan, dan pengawasan untuk memastikan efektivitasnya. Evaluasi dan Pemantauan sebagai tahapan terakhir, merupakan hal yang penting untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas strategi pencegahan yang diimplementasikan, serta melakukan penyesuaian jika diperlukan berdasarkan perkembangan situasi dan ancaman penyakit yang baru muncul.
Resiliensi ekonomi
Dampak dari penyakit ternak juga berpengaruh pada aspek sosial termasuk kehilangan pekerjaan, ketidakstabilan ekonomi di komunitas petani/peternak, serta tekanan psikologis pada individu yang terkena dampaknya. Dampak sosial dan ekonomi jangka panjang dari penyakit ternak terhadap masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan, termasuk penurunan nilai properti, penurunan kepercayaan konsumen, atau dampak pada sektor pariwisata.
Resiliensi Ekonomi, sebagai suatu proses untuk bertahan dalam menghadapi tekanan penyakit ternak dalam membangun ketahanan terhadap penyakit ternak, merupakan sebuah upaya yang dilakukan melalui diversifikasi produksi, infrastruktur yang tahan terhadap penyakit, dan rencana tanggap darurat ekonomi yang dapat membantu mengurangi kerentanan terhadap ancaman. Penting juga untuk dipahami bahwa upaya meningkatkan tindakan biosekuriti tidak hanya merupakan tanggung jawab individu atau produsen saja, tetapi juga merupakan masalah yang membutuhkan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk melindungi kesehatan hewan dan ternak, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan ekonomi.
Kebijakan pengendalian penyakit
Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan dilakukan melalui kegiatan surveilans, penyidikan, pemeriksaan dan pengujian, peringatan dini, serta pelaporan. Sesuai dengan PP No. 47/2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, upaya pengebalan hewan/ternak dilakukan melalui vaksinasi, pemberian antisera, dan/atau peningkatan status gizi Hewan. Sedangkan vaksinasi dapat dilakukan pada daerah bebas Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang berisiko tinggi tertular, daerah terduga, daerah tertular, dan daerah Wabah. Pemberian antisera dan peningkatan status gizi hewan/ternak dapat dilakukan pada daerah tertular dan daerah bebas PHMS, kawasan pengamanan PHMS. Kegiatan vaksinasi dan pemberian antisera dapat mengikutsertakan peran masyarakat. Sedangkan pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya penyakit hewan/ternak dalam suatu kawasan pengamanan PHMS dilakukan dengan tindakan pengebalan, pengoptimalan kebugaran hewan, dan biosecuriti, yang dilakukan dengan cara pemisahan sementara hewan baru dari hewan lama, hewan sakit dari hewan sehat, pembersihan dan desinfeksi, pembatasan lalu lintas orang, hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya dalam unit usaha atau perusahaan peternakan.