Industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor pertanian yang penting bagi banyak negara di dunia. Di samping kontroversi terkait dampak lingkungan dan sosialnya, ada upaya yang sedang dilakukan untuk meningkatkan keberlanjutan sektor ini. Salah satu pendekatan yang diadopsi oleh beberapa negara penghasil sawit adalah implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit. Dalam sistem ini, peternakan sapi digabungkan dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit, dengan tujuan meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan mengurangi dampak lingkungan. Artikel ini akan menjelaskan perkembangan implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit di beberapa negara penghasil sawit, antara lain :
- Indonesia: Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia telah mencoba menerapkan sistem integrasi sapi kelapa sawit. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menggabungkan peternakan sapi dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit mereka. Hal ini memberikan manfaat seperti pengelolaan limbah kelapa sawit yang lebih baik melalui penggunaan pupuk organik, diversifikasi hasil pertanian, dan pengurangan risiko erosi tanah. Namun, tantangan yang dihadapi termasuk penanganan limbah yang efektif dan manajemen peternakan yang baik.
- Malaysia: Negara lain yang juga menghasilkan kelapa sawit dalam jumlah besar adalah Malaysia. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah mengambil langkah untuk mengintegrasikan peternakan sapi dalam operasional mereka. Dalam sistem ini, limbah kelapa sawit dimanfaatkan sebagai pakan untuk sapi, sedangkan kotoran sapi digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan mengurangi dampak lingkungan.
- Kolombia: Kolombia, sebagai salah satu produsen kelapa sawit terkemuka di Amerika Latin, juga telah mengadopsi konsep integrasi sapi kelapa sawit. Beberapa perusahaan kelapa sawit di Kolombia telah mencoba mengintegrasikan peternakan sapi dalam sistem mereka. Keuntungan yang diharapkan meliputi pengelolaan limbah yang lebih baik, pengurangan dampak lingkungan, dan diversifikasi pendapatan petani. Namun, tantangan yang dihadapi termasuk pemilihan jenis sapi yang tepat dan penanganan limbah kelapa sawit.
Implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit adalah langkah penting dalam upaya meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit. Negara-negara penghasil sawit seperti Indonesia, Malaysia, dan Kolombia telah mencoba mengadopsi sistem ini sebagai bagian dari operasional perkebunan kelapa sawit mereka. Dalam sistem ini, peternakan sapi diintegrasikan dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit untuk memanfaatkan limbah dan lahan yang tersedia secara efisien. Meskipun masih ada tantangan yang perlu diatasi, seperti penanganan limbah yang efektif dan manajemen peternakan yang baik, langkah-langkah ini menunjukkan potensi yang menarik untuk mencapai keberlanjutan sektor kelapa sawit. Pengalaman negara-negara lain dalam menerapkan sistem integrasi sawit-sapi adalah sebagai berikut:
- Malaysia, yang merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, telah menerapkan sistem integrasi sawit-sapi sejak tahun 1985 dengan nama Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) atau Crop-Livestock Integration System (CLIS). Sistem ini melibatkan kerjasama antara Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), Departemen Perkhidmatan Veterinar (DVS), dan petani sawit dan peternak sapi. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani sawit dan peternak sapi, serta mengurangi ketergantungan pada impor daging sapi.
- Thailand, yang merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di Asia Tenggara, juga telah menerapkan sistem integrasi sawit-sapi sejak tahun 2009 dengan nama Sistem Integrasi Sawit-Sapi (SISKA) atau Oil Palm-Cattle Integration System (OPCIS). Sistem ini melibatkan kerjasama antara Departemen Pertanian Thailand, Departemen Peternakan Thailand, dan petani sawit dan peternak sapi. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas minyak sawit dan daging sapi, serta mengurangi biaya pemeliharaan rumput bawah dan pupuk kimia.
- Kolombia, yang merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di Amerika Latin, juga telah menerapkan sistem integrasi sawit-sapi sejak tahun 2010 dengan nama Sistem Integrasi Sawit-Sapi (SISKA) atau Oil Palm-Cattle Integration System (OPCIS). Sistem ini melibatkan kerjasama antara Federasi Petani Minyak Sawit Kolombia (FEDEPALMA), Federasi Peternak Kolombia (FEDEGAN), dan petani sawit dan peternak sapi. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani sawit dan peternak sapi, serta mengurangi emisi gas rumah kaca dan deforestasi .
Berdasarkan pengalaman tersebut, perbandingan antara pengalaman Indonesia dengan negara-negara lain dalam menerapkan sistem integrasi sawit-sapi adalah sebagai berikut:
- Indonesia merupakan negara yang pertama kali mengembangkan sistem integrasi sawit-sapi pada tahun 2004 dengan nama Sistem Integrasi Sawit-Sapi (SISKA) atau Oil Palm-Cattle Integration System (OPCIS). Sistem ini melibatkan kerjasama antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), dan petani sawit dan peternak sapi. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani sawit dan peternak sapi, serta mengurangi impor daging sapi.
- Malaysia, Thailand, dan Kolombia merupakan negara-negara yang mengikuti jejak Indonesia dalam menerapkan sistem integrasi sawit-sapi dengan nama yang sama, yaitu SISKA atau OPCIS. Sistem ini melibatkan kerjasama antara pemerintah, perusahaan minyak sawit, dan petani sawit dan peternak sapi. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas minyak sawit dan daging sapi, serta mengurangi biaya pemeliharaan rumput bawah, pupuk kimia, emisi gas rumah kaca, dan deforestasi.
- Perbedaan antara pengalaman Indonesia dengan negara-negara lain dalam menerapkan sistem integrasi sawit-sapi terletak pada luas lahan, jumlah sapi, jenis sapi, dan model kerjasama yang digunakan. Indonesia memiliki luas lahan integrasi sawit-sapi sekitar 1 juta hektar dengan jumlah sapi sekitar 100 ribu ekor, yang sebagian besar adalah sapi lokal seperti Bali, Ongole Crossbred (PO), Limousin Crossbred (Limpo), dan Simmental Crossbred (Simpo). Model kerjasama yang digunakan adalah model sewa lahan atau kemitraan antara petani sawit dan peternak sapi. Malaysia memiliki luas lahan integrasi sawit-sapi sekitar 300 ribu hektar dengan jumlah sapi sekitar 50 ribu ekor, yang sebagian besar adalah sapi impor seperti Brahman Crossbred (Bracross) dan Australian Commercial Crossbred (ACCB). Model kerjasama yang digunakan adalah model kontrak antara perusahaan minyak sawit dan peternak sapi . Thailand memiliki luas lahan integrasi sawit-sapi sekitar 100 ribu hektar dengan jumlah sapi sekitar 20 ribu ekor, yang sebagian besar adalah sapi lokal seperti Thai Native Cattle (TNC) dan Thai Brahman Cattle (TBC). Model kerjasama yang digunakan adalah model kemitraan antara pemerintah, perusahaan minyak sawit, dan petani sawit dan peternak sapi. Kolombia memiliki luas lahan integrasi sawit-sapi sekitar 50 ribu hektar dengan jumlah sapi sekitar 10 ribu ekor, yang sebagian besar adalah sapi impor seperti Brahman Cattle (BC) dan Zebu Cattle (ZC). Model kerjasama yang digunakan adalah model kemitraan antara federasi petani minyak sawit dan federasi peternak sapi.
Implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit di beberapa negara tersebut juga relevan dengan sistem sertifikasi perkebunan sawit yang berlaku. Sertifikat atau standar yang berlaku untuk sistem integrasi sawit-sapi adalah sebagai berikut:
- Sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), yang merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjamin bahwa produksi minyak sawit di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
- Sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh organisasi non-pemerintah internasional yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan terkait industri minyak sawit, seperti produsen, pengolah, pedagang, bank, LSM, dan konsumen.
- Sertifikat MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil), yang merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia untuk menjamin bahwa produksi minyak sawit di Malaysia sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
- Sertifikat POIG (Palm Oil Innovation Group), yang merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh kelompok inisiatif yang terdiri dari perusahaan-perusahaan minyak sawit, LSM, dan investor yang berkomitmen untuk mendorong praktik-praktik minyak sawit yang lebih bertanggung jawab dan inovatif.
Perbandingan kebijakan implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit di negara-negara penghasil sawit dapat bervariasi tergantung pada konteks dan kondisi masing-masing negara. Berikut ini adalah beberapa perbandingan umum dalam hal kebijakan implementasi tersebut:
- Kebijakan Regulasi:
- Indonesia: Pemerintah Indonesia telah mendorong implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit melalui beberapa kebijakan, seperti Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan yang mencakup integrasi sapi kelapa sawit. Ada juga program subsidi dan insentif fiskal untuk mendorong petani dan perusahaan kelapa sawit melaksanakan integrasi ini.
- Malaysia: Di Malaysia, implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit tidak diatur oleh kebijakan nasional yang khusus, tetapi pemerintah mendorong inisiatif ini melalui bantuan teknis dan dukungan dari agen-agen pemerintah terkait. Perusahaan kelapa sawit juga mendapatkan insentif pajak untuk menerapkan integrasi ini.
- Pendekatan dan Kolaborasi:
- Indonesia: Pendekatan yang digunakan di Indonesia adalah melalui kerjasama antara perusahaan kelapa sawit, peternak, dan pemerintah daerah. Perusahaan kelapa sawit menyediakan lahan dan dukungan teknis kepada peternak sapi, sementara pemerintah daerah memberikan pendampingan dan bantuan dalam pengembangan sistem integrasi ini.
- Malaysia: Di Malaysia, pendekatan yang digunakan adalah melalui kolaborasi antara perusahaan kelapa sawit, universitas, dan lembaga riset pertanian. Pihak-pihak terkait bekerja sama dalam penelitian dan pengembangan serta memberikan pelatihan dan dukungan teknis kepada peternak sapi yang berpartisipasi dalam sistem integrasi.
- Skala Implementasi:
- Indonesia: Implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit di Indonesia cenderung berlangsung pada skala yang lebih kecil, dengan partisipasi petani kecil dan menengah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya petani kecil yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit yang terbatas dan memanfaatkannya untuk beternak sapi.
- Malaysia: Di Malaysia, implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit dapat dilakukan baik oleh perusahaan kelapa sawit besar maupun petani kecil. Perusahaan kelapa sawit besar seringkali memimpin dalam pengembangan sistem ini, sementara petani kecil dapat berpartisipasi melalui program-program kerjasama atau kemitraan dengan perusahaan.
Perbandingan di atas hanya memberikan gambaran umum dan dapat berubah seiring waktu. Selain itu, negara-negara penghasil sawit lainnya mungkin juga mengadopsi pendekatan dan kebijakan yang berbeda dalam implementasi sistem integrasi sapi kelapa sawit sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka masing-masing. Sistem integrasi sawit-sapi dapat mendukung pencapaian sertifikat-sertifikat tersebut dengan cara mengurangi penggunaan herbisida dan pupuk kimia, meningkatkan kesehatan tanah dan biodiversitas, menyerap karbon, dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat Namun, sistem ini juga memerlukan pengelolaan yang baik dan sesuai dengan kondisi lokal agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi tanaman sawit, sapi, atau lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dan dukungan yang spesifik untuk mendorong penerapan sistem integrasi sawit-sapi di Indonesia.
Dirangkum dari berbagai sumber. File PDF tersedia di www.siskaforum.org
Penulis : Wahyu Darsono/Sekjend GAPENSISKA.
Rekomendasi teknis untuk pengembangan sistem integrasi sapi kelapa sawit (SISKA) di Indonesia, dengan melihat perbandingan kebijakan dan praktek implementasi di negara-negara lain penghasil sawit, setidaknya sebagai berikut :
- Peningkatan Kesadaran dan Edukasi: (a) Mengadakan kampanye penyuluhan dan pelatihan untuk petani kelapa sawit tentang manfaat, prinsip, dan praktik SISKA. (b) Melibatkan lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi terkait dalam memberikan dukungan teknis dan pendampingan kepada petani dalam implementasi SISKA.
- Pengembangan Kemitraan dan Kolaborasi: (a) Mendorong kolaborasi antara perusahaan kelapa sawit, pemerintah daerah, dan peternak untuk menerapkan SISKA. (b) Memfasilitasi kemitraan antara perusahaan kelapa sawit dengan peternak sapi, dengan menyediakan lahan dan dukungan teknis kepada peternak.
- Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit: (a) Mendorong penanganan dan pengolahan limbah kelapa sawit yang efektif melalui pengomposan, pengolahan biogas, atau teknologi lainnya. (b) Mengoptimalkan penggunaan limbah kelapa sawit sebagai pakan sapi untuk mengurangi ketergantungan pada pakan impor.
- Pengembangan Pakan dan Nutrisi: (a) Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan formula pakan yang sesuai berdasarkan komposisi nutrisi limbah kelapa sawit dan kebutuhan sapi. (b) Memastikan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas bagi sapi dalam sistem integrasi.
- Pengelolaan Kesehatan dan Kualitas Ternak: (a) Meningkatkan pemantauan kesehatan ternak melalui vaksinasi, pengendalian parasit, dan program pemeliharaan kesehatan yang baik. (b) Memastikan kebersihan dan sanitasi yang tepat di area peternakan untuk menghindari penyebaran penyakit.
- Peningkatan Akses Finansial: Mendorong pemberian dukungan keuangan dan insentif kepada petani dan perusahaan kelapa sawit yang menerapkan SISKA, seperti subsidi, kredit usaha, atau insentif pajak.
- Penelitian dan Inovasi: Melakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas SISKA, termasuk pemilihan varietas sapi yang cocok, penggunaan teknologi hijau, dan pengelolaan berkelanjutan.