Perkebunan Sawit Rakyat (PSR) merupakan aktor penting dalam pengelolaan usaha perkebunan sawit selain usaha Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN), dengan kontribusi 41,44 % dari seluruh luasan sawit di Indonesia yang tercatat 14,2 juta hektar (BPS. 2020). Oleh karena itu, posisi ini menjadi bagian utama mata rantai upaya pencapaian perkebunan berkelanjutan, apalagi PSR ternyata hanya menguasai 34.62 % dari total output. Usaha PSR banyak menghadapi tantangan dari sisi produktivitas tanaman, finansial dan serta berbagai resiko dalam keberlanjutan usaha. Secara nyata yang tampak yaitu produktivitas dan kualitas hasil usaha PSR tercatat sangat rendah sebagai akibat dari kelemahan dalam mengelola usaha taninya. Rerata produktivitas sawit nasional saat ini berkisar 16-17ton TBS dan 3,97ton CPO per hektar, sedangkan rerata produktivitas sawit PSR hanya berkisar antara 9-11ton TBS dan 3,27ton CPO per hektar. Bagi petani PSR yang hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan TBS saja apalagi dengan harga yang berfluktuasi tentu sulit untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan.
Sistem integrasi sawit-sapi (SISKA) merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani perkebunan sawit, yang sekaligus merupakan bagian dari strategi untuk mempercepat peningkatan produksi daging sapi. Diharapkan kotoran sapi sebagai pupuk organik juga dapat menjadi substitusi pupuk kimiawi yang ketersediaannya sering terbatas sehingga produktivitas tanaman tetap dapat diperoleh secara optimal. Dari sisi pertanaman, SISKA diharapkan akan dapat menghasilkan pendapatan petani dari tingginya produktivitas tanaman dengan nilai tambah dari hasil samping tanaman (kompos dari tandan sawit kosong dan pelepah daun, pakan ternak dari pelepah daun dan biomasa sekitar pertanaman sawit). Sedangkan dari sisi ternak sapi, SISKA diharapkan akan menghasilkan produksi sapi dan hasil samping (pupuk kandang padat dan cair).
Selain itu dalam aspek penanganan penyakit Ganoderma (Penyakit Busuk Pangkal Batang/PBP) pada tanaman kelapa sawit masih sangat memerlukan perhatian. Sebagai penyakit tular tanah dan udara, secara teoritis penyakit ini dapat menyebar melalui sentuhan akar tanaman sakit dan sehat, basidiospore terbawa oleh tanah dan kotoran ternak, bagian tanaman mati sebagai sumber penyakit di sekitar kebun, inang alternative serta serangga sebagai vector. Penyakit ini diketahui telah menyebar ke seluruh daerah penghasil sawit di Indonesia dan menyerang tanaman muda hingga yang sudah berumur tua. Penyebaran penyakit ini paling potensial adalah melalui sentuhan akar sakit dan sehat. Tetapi jamur Ganoderma juga dapat hidup sebagai parasite facultative pada bagian tanaman mati atau bahan organic yang ada di sekitar kebun sawit, sehingga dapat menjadi sumber penyakit. Meski tidak mudah sebagai sumber penyakit karena diperlukan pertemuan antara spora yang compatible.
SISKA telah mulai diperkenalkan sejak 2005, namun demikian perkembangan adopsinya sangat lambat. Pemerintah Kabinet Maju 2019-2024 mencanangkan pengembangan SISKA di 200 000 ha lahan sawit. Namun demikian, berbagai kalangan pengelola usaha perkebunan sawit masih merasa khawatir tentang dampak negatif yang ditimbulkan, terutama terkait dengan produktivitas tanaman akibat pemadatan lahan, percepatan penyebaran penyakit dan kerusakan pertanaman. Karena itu diperlukan data empiris yang dapat mengatasi kekawatiran pengelola usaha perkebunan, terutama PSR.
Pada beberapa provinsi, SISKA diimplementasikan dengan jumlah sapi yang sangat bervariasi. Tetapi pada umumnya diusahakan dengan jumlah sapi yang sedikit dan menyebar di berbagai areal pertanaman. Untuk mengoptimalkan SISKA, pemerintah memperkenalkan tiga model, yaitu SISKA intensif, semi intensif dan ekstensif. SISKA intensif mengimplementasikan kandang komunal, dengan perawatan dan pemeliharaan sapi dalam kandang sepanjang hari. Sapi mendapat pakan dari biomasa hijauan yang berasal dari limbah sawit (pelepah, tandan sawit kosong), tanaman penutup tanah, gulma yang ada di sekitar sawit yang diolah/dipanen dan dibawa ke kandang. Kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk memupuk tanaman sawit. SISKA semi intensif juga mengimplementasikan kandang komunal, tetapi separuh waktu pada siang hari sapi dilepas untuk mencari hijauan pada areal pertanaman sawit sekitar kandang. Dengan model ini, pakan sapi lebih mengandalkan biomasa yang ada di sekitar pertanaman dan kotoran sapi pada malam hari akan terkumpul di kandang sedangkan pada siang hari kotoran sapi akan tersebar di areal pertanaman tempat sapi dilepas. SISKA ekstensif diimplementasikan tanpa kandang komunal dan sapi dilepas sepanjang hari untuk mencari makan hijauan dan melepaskan kotorannya di areal pertanaman sawit. SISKA ekstensif yang baik dilakukan melalui sistem rotasi pada pertanaman, yang umumnya hanya dilakukan oleh usaha perkebunan besar sawit.
Ringkasan laporan teknis Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan ACIAR tahun 2018-2020 ini merupakan bagian dari hasil penelitian (dalam proses publikasi ilmiah) memberikan gambaran dampak berbagai model implementasi SISKA terhadap produktivitas tanaman dan kemungkinan pengaruh sapi bagi percepatan penyebaran serta saran pengendalian penyakit Ganoderma.
Penelitian lapangan dilaksanakan pada tahun 2018-2020 pada 17 areal PSR yang (1) melaksanakan dan tidak melaksanakan SISKA, (2) mengalami serangan dan tidak mengalami serangan Ganoderma, (3) pertanaman sawitnya berumur 19-24 tahun, di provinsi Riau (Kabupaten Kampar dan Siak) dan Kalimantan Timur (Kaltim: Kabupaten Penajam Paser Utara) dan analisis labororium di Bogor. Penelitian dilakukan dengan parameter pengamatan (1) perkiraan rerata hasil Tandan Buah Segar (TBS) tanaman per tahun, (2) perkiraan rerata hasil TBS pertanaman per tahun per hektar, (3) kemungkinan kandungan basidiospore Ganoderma pada sampel (akar, kotoran sapi, kuku, tanah, serangga penyerbuk).